Taman Nasional Kelimutu yang terletak di Flores, Nusa Tenggara Timur ini memiliki perjalanan panjang untuk menjadi taman nasional. Menilik sejarahnya, Taman Nasional Kelimutu pertama kali memiliki payung hukum di tahun 1930, saat itu Indonesia yang masih berada di bawah kuasa Belanda meneken Surat Keputusan Residen van Timor en Onderhoorigheden ZB, tanggal 10 Desember 1930. Dokumen ini sendiri menggarisbawahi keberadaan Danau Kelimutu yang berada di Taman Nasional Kelimutu.
Setelah peresmian itu, Taman Nasional Kelimutu berkali-kali melakukan penyesuaian dari berbagai era, dengan yang terbaru menjadi Taman Nasional Kelimutu lewat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.754/MENHUT-II/2011 tanggal 30 Desember 2011.
Taman Nasional Kelimutu sendiri terletak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Luas taman nasional satu ini berkisar pada angka 5.356 ha. Dengan luas yang relatif tidak terlalu besar, Taman Nasional Kelimutu menawarkan berbagai pengalaman yang unik bagi wisatawan, mulai keberadaan danau tiga warna hingga suku-suku asli sekitar.
Taman Nasional Kelimutu memiliki berbagai daya tarik yang tentunya layak kamu coba. Destinasi wisata yang ditawarkan bukan hanya bagi orang-orang yang menyukai keindahan pemandangan Kelimutu, namun juga nilai budaya yang turut menopang kehidupan di sekitarnya.
Taman Nasional Kelimutu memiliki tiga gunung, dampak dari aktivitas vulkanik masa lampau. Ketiga gunung tersebut memiliki ketinggian yang relatif rendah sehingga memudahkan para wisatawan untuk menikmati fenomena kawah danau tiga warna. Ketiga gunung tersebut bernama Gunung Kelimutu yang memiliki ketinggian 1.640 mdpl, diikuti oleh Gunung Kelido yang memiliki ketinggian 1.641 mdpl dan terakhir, Gunung Kelibara, ketinggian 1.630 mdpl. Ketiga gunung ini disatukan oleh kaldera yang bernama Sokoria atau Mutubusa. Dari ketiga gunung ini, tidak semuanya menunjukkan aktivitas vulkanik di masa sekarang, hanya Gunung Kelimutu yang ‘melanjutkan’ aktivitas vulkanik dari gunung api tua Sokoria.
Danau tiga warna di Taman Nasional Kelimutu dikenal juga dengan nama Danau Kelimutu, seperti namanya, ketiga danau yang ada di puncak gunung ini bisa mengalami perubahan warna secara bergantian, mulai dari warna hijau, biru, merah hingga hitam.
Selain keindahan visual yang diberikan bagi para orang yang menyaksikannya, ketiga danau ini juga memiliki nilai budaya atau mitos yang mengelilinginya. Ini terbukti dengan nama yang disematkan pada ketiga danau ini: ada Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nuwa Muri Foo Kai dan yang terakhir Tiwu Ata Polo.
Ketiga nama ini disematkan kepada ketiga danau ini karena ada nilai sejarahnya, terutama yang berkaitan dengan lapisan sosial masyarakat di sekitaran Taman Nasional Kelimutu. Tiwu Ata Mbupu yang biasanya memancarkan warna biru merupakan tempat orang tua meninggal, lalu Tiwu Nuwa Muri Foo Kai yang diperuntukkan untuk jiwa muda-mudi, sementara yang terakhir, Tiwu Ata Polo adalah tempat bagi orang-orang meninggal yang semasa hidupnya pernah melakukan kejahatan. Ketiga danau ini sendiri dipisahkan dengan dinding kawah dengan tinggi minimal 35 meter.
Mitos yang beredar bagi masyarakat sekitar adalah bahwa perubahan air danau biasanya dikarenakan akan ada sebuah musibah yang akan terjadi dalam waktu dekat. Jadi ketiga danau ini bukan hanya diperuntukkan untuk visual mata belaka, namun juga erat dengan masyarakat setempat.
Dari sisi ilmu pengetahuan sendiri, masing-masing air di ketiga danau ini ternyata memiliki senyawa yang berbeda satu sama lain.
Nilai sejarah dan mitos yang sangat kental di Taman Nasional Kelimutu juga memengaruhi aspek lain, salah satunya penamaan burung langka dengan nama Garawiga.
Burung ini sendiri memiliki nama asli burung kancilan flores dan merupakan burung endemik atau khas Nusa Tenggara Timur. Penamaan burung Garawiga sendiri dilakukan oleh masyarakat sekitar yang percaya bahwa burung Garawiga adalah penjaga dari Taman Nasional Kelimutu.
Terlepas dari mitosnya, burung Garuwiga sendiri masuk kedalam kategori burung yang cerdas karena mampu menirukan suara dari lingkungan sekitarnya, serta mempunyai kicauan hingga 12 jenis. Jika kamu merupakan pencinta burung atau menikmati pengalaman mengamati burung, maka kamu bisa melihat spesies burung ini di Taman Nasional Kelimutu dari rentang waktu jam 6 pagi hingga jam 10 pagi.
Sinergi antara masyarakat sekitar dengan Taman Nasional Kelimutu juga ditunjukkan dengan berbagai pengenalan budaya kepada wisatawan. Setelah melakukan pendakian dan berkeliling Taman Nasional Kelimutu, kamu bisa mengunjungi pesanggrahan di dalam Taman Nasional Kelimutu yang sudah berdiri semenjak zaman Hindia Belanda. Pesanggrahan atau tempat beristirahat ini digunakan oleh para karyawan pemerintahan yang akan dan telah pergi ke danau Kelimutu.
Setelah mencicipi nilai sejarah, kamu mulai bisa bergeser ke budaya masyarakat sekitar dan mengunjungi Perekonde, tempat yang dipercaya oleh Suku Lio—salah satu suku utama di sekitaran Taman Nasional Kelimutu—sebagai tempat masuknya arwah menuju danau Kelimutu.
Wisata budaya dan sejarah kamu di Taman Nasional Kelimutu tidak akan lengkap jika kamu tidak mengikuti ritual tahunan dengan nama Patika Do’a Bapu Mata Ata yang merupakan prosesi pemberian makan kepada arwah di tiga kawah danau Kelimutu.
Mulai dari melihat burung yang langka, fenomena danau berubah warna hingga sejarah yang budaya dan kaya bisa menjadi tiga alasan utama untuk kamu mengunjungi Flores dan menikmati pengalaman baru di Taman Nasional Kelimutu.
cantikkk
BalasHapusCantikkk
BalasHapus